Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang kerap menyeragamkan ekspresi iman, Gereja Katolik Indonesia menghadapi tantangan sekaligus peluang untuk menghidupi spiritualitas yang kontekstual dan kreatif. Gereja diharapkan untuk bisa menghadapi tantangan dengan relevansi keberadaanya menyapa umat dengan bahasa yang akrab, dan tetap setia pada kebenaran Injil. SDK Ignatius Slamet Riyadi II merupakan sebuah Lembaga Pendidikan yang hadir di tenga-tenga umat dan masyarakat pada umumnya yang dari hari ke hari berusaha mewartakan Injil dengan mengedepankan asas cinta kasih yang merupakan hukum tertinggi dalam hidup. Cinta kasih itu dapat diwujudkan dengan menghargai perbedaan di antara warga sekolah yang datang dari perbedaan latar belakang budaya, agama, suku, dan bahasa. Salah satu bentuk penghargaan perbedaan antar warga sekolah adalah dengan kegiatan pentas seni yang mengusung tema “Membumi dengan Budaya, Melangit dengan Kreativitas” menjadi refleksi atas panggilan bagi peserta didik untuk mengekspresikan diri dalam bahasa dan simbol yang akrab, sekaligus mengarahkan mereka kepada Allah Sang Sumber Kehidupan. Spiritualitas yang membumi berarti menyatu dengan budaya lokal, menghargai tradisi, bahasa, dan simbol-simbol khas yang membentuk identitas komunitas. Sementara spiritualitas yang melangit mengajak peserta didik untuk mengolah daya cipta sebagai bentuk partisipasi dalam karya penciptaan Allah. Kitab Suci memberikan landasan teologis yang kuat bagi pendekatan ini. Dalam Kejadian 1:27-28, manusia diciptakan menurut gambar Allah dan diberi mandat untuk mengolah bumi. Kreativitas bukan sekadar kemampuan manusiawi, melainkan panggilan ilahi untuk berpartisipasi dalam karya penciptaan. Dalam 1 Korintus 9:22, Rasul Paulus menunjukkan semangat inkulturasi yang radikal: menjadi segala-galanya bagi semua orang demi keselamatan mereka. Ia tidak memaksakan satu bentuk pewartaan, melainkan menyapa setiap orang dalam konteks hidup mereka. Matius 5:14-16 menegaskan bahwa ekspresi iman yang kreatif dan kontekstual dapat menjadi terang bagi dunia, mengarahkan orang kepada kemuliaan Allah. Pemikiran para inspirator Katolik memperkuat pendekatan ini. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Redemptoris Missio (1990) menegaskan bahwa Injil tidak menghapuskan budaya, tetapi menyempurnakannya. Inkulturasi adalah proses dialog antara iman dan budaya, di mana keduanya saling memperkaya. Romano Guardini dalam The Spirit of the Liturgy (1930) menyatakan bahwa liturgi dan simbol iman harus menyentuh realitas manusia. Kreativitas rohani bukan pelarian dari dunia, tetapi pengudusan dunia melalui ekspresi iman. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013) mengajak Gereja untuk menjadi tempat kreativitas pastoral. Imajinasi rohani adalah sarana untuk menjangkau hati umat, terutama anak-anak dan kaum muda, yang hidup dalam dunia yang penuh simbol dan ekspresi visual. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini menemukan relevansi yang mendalam. Budaya lokal yang kaya akan simbol, permainan tradisional, bahasa daerah, dan nilai-nilai komunitas menjadi ladang subur bagi pewartaan Injil. Ketika guru dan pendidik menciptakan yel-yel rohani, mading bertema Kitab Suci, atau kontes reflektif yang berakar pada nilai lokal, mereka sedang menghidupi spiritualitas yang membumi dan melangit. Mereka tidak sekadar mengajar, tetapi membentuk jiwa dan mengarahkan anak-anak kepada Allah melalui pengalaman yang menyentuh hati dan imajinasi. Kreativitas dalam pendidikan iman bukan sekadar estetika, melainkan bentuk liturgi hidup. Setiap karya, ide, dan ekspresi yang lahir dari cinta kepada budaya dan iman menjadi persembahan kepada Allah. Dalam proses ini, anak-anak belajar bahwa iman bukan sesuatu yang asing atau jauh, tetapi hadir dalam permainan, lagu, gambar, tarian dan cerita yang mereka kenal. Mereka belajar bahwa menjadi Katolik berarti mencintai tanah tempat mereka berpijak, dan mengangkatnya kepada Surga dengan karya yang indah. Spiritualitas Katolik yang membumi dan melangit adalah spiritualitas yang hidup. Ia tidak terjebak dalam formalitas, tetapi menyapa jiwa melalui budaya dan imajinasi. Gereja dan sekolah dipanggil untuk menjadi ruang di mana iman bertumbuh dalam tanah budaya dan menjulang ke langit kreativitas. Dalam dunia yang terus berubah, pendekatan ini bukan hanya relevan, tetapi mendesak. Ia menjadi jalan bagi pewartaan yang autentik, transformatif, dan penuh harapan. Pentas seni bukan sekadar panggung hiburan. Di SDK Ignatius Slamet Riyadi II, acara ini menjadi ruang sakral di mana iman, budaya, dan kreativitas bertemu dalam harmoni, seni menjadi ruang di mana imajinasi anak-anak dibimbing untuk menemukan Allah dalam keindahan dan kebersamaan, serta sebagai panggung pewartaan.
Tema “Membumi dengan Budaya, Melangit dengan Kreativitas” bukan hanya slogan, melainkan sebuah spiritualitas yang mengakar dalam tradisi Katolik dan menjulang dalam ekspresi seni anak-anak. Dalam setiap tarian, lagu, dan karya visual yang ditampilkan, kita menyaksikan bagaimana anak-anak belajar mencintai tanah tempat mereka berpijak, sekaligus mengangkatnya kepada Allah melalui daya cipta yang murni dan penuh makna. Melalui acara ini, SDK Ignatius Slamet Riyadi II telah menunjukkan bahwa pendidikan Katolik bukan hanya soal pengetahuan, tetapi pembentukan jiwa. Ketika budaya lokal dan kreativitas anak-anak dipadukan dalam semangat iman, kita menyaksikan lahirnya generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakar dan terarah. Mereka membumi dengan budaya, dan melangit dengan kreativitas. Dan di sanalah, spiritualitas Katolik menemukan wajahnya yang paling indah.
Tuliskan Komentar Anda